Senin, 14 November 2011

study akhlak tasawufsyariah muamalah

HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU LAINNYA
(Ilmu Tasawuf, Ilmu Tauhid, dan Filsafat)
Pendahuluan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pertemuan yang lalu, bahwa Ilmu akhlak adalah Ilmu yang mempelajari segala tingkah laku manusia dari berbagai aspeknya, yang dilakukan dalam keadaan sadar, atas kemauannya sendiri, tidak terpaksa yang kemudian diberi nilai baik atau buruk.
Suatu disiplin ilmu bisaanya memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut memiliki tingkat kedekatan yang berbeda-beda, tergantung dari aspek mana pendekatan itu dilakukan. Ilmu Tasawuf misalnya mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Ilmu Akhlak, sebab tujuan dari kedua disiplin ini adalah bagaimana menjaga hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta ini menjadi harmonis.
Ada pula disiplin ilmu yang hubungan satu dengan yang lainnya sangat jauh, bahkan sangat sulit dicari korelasinya. Dalam kaitannya dengan pembahasan ini (Ilmu Akhlak) yang mempunyai hubungan yang jauh adalah Ilmu Fisiki, Kimia, Biologi dan Politik. Mekipun demikian keluasan pengetahuan dan kepiawaian seseorang akan dapat menunjukkan, bahkan menyandingkan kedua ilmu tersebut menjadi begitu dekat. Sebagaimana ungkapan Aristoteles, bahwa politik itu sendiri pada dasarnya adalah ilmu moral tentang bagaimana seharusnya mengatur kehidupan bersama (das sollen). Atau setidaknya, politik adalah ilmu terpenting bagi etika (ilmu moral) untuk menata kehidupan publik. Oleh karena itu tidak heran jika Al-Ghazali kemudian menyebut ilmu akhlak sebagai puncak ilmu praktis – di atas ilmu politik dan ekonomi.[1]
Dalam kesempatan ini, pembahasan akan dibatasi pada ilmu-ilmu yang memiliki hubungan yang sangat erat, seperti Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf, Filsafat dan juga Ilmu Jiwa dan Ilmu Pendidikan. Bagaimana sebenarnya hubungan antara beberapa disiplin ilmu yang mempunyai perbedaan obyek pembahasan tersebut ?.
A. Hubungan Akhlak dengan Ilmu Tauhid.
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifatnya yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya. Juga membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka.[2]
Ilmu tauhid (pengesaan Tuhan) pokok bahasannya adalah keesaan Tuhan. Nama lain ilmu ini adalah Ilmu Kalam. Kata kalam berarti firman dan dipakai untuk menyebut kajian keimanan karena di antara masalah terpenting yang dibahas di dalamnya adalah al-Qur’an sebagai kalam Allah. Nama lain ilmu ini kadang-kadang juga dipakai istilah aqidah, jama’ aqa’id, kadang-kadang juga dipakai Ushul al-din. Kata akidah dipakai untuk menyebut prinsip-prinsip keyakinan yang dibahas dalam teologi Islam. Ushuluddin berarti pokok-pokok agama, dan nama ini dipakai karena pokok-pokok agama yang berupa keyakinanlah yang dibahas dalam teologi Islam. Sedangkan nama tauhid dipakai karena masalah terpenting yang dibahas adalah keesaan Tuhan.
Ilmu Tauhid juga membahas hal-hal yang berkenaan dengan prinsip-prinsip keimanan yang mencakup ketuhanan, kenabian, kebebasan atau keterpaksaan manusia, hari kiamat dan sebagainya. Persoalan perilaku (akhlak), hukum dan ritual (fiqh), spiritualitas (tasawuf) dan paham-paham politik tidak termasuk dalam pembicaraan. Pokok kajian ilmu tauhid sering diringkas dalam apa yang disebut rukun iman, yakni enam pokok keimanan dalam Islam, walaupun tekanan pada masalah katuhanan dan kebebasan-keterpaksaan manusia seringkali sangat kuat.[3]
Sebagai contoh Qadariyah, adalah paham yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan (qadar atau qudrah) dalam melakukan perbuatannya. Sebenarnya qadar juga mempunyai pengertian penentuan. Selain itu, paham ini meniadakan kepercayaan akan adanya qadar ini pada Allah. Sebaliknya paham ini berpendapat bahwa semua perbuatan manusia berasal dari pilihannya sendiri, bukan dari ketentuan yang sudah dibuat sebelumnya oleh Allah.
Selanjutnya Jabariah, adalah paham yang menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kemampuan dalam melakukan perbuatan. Segalanya berasal dari paksaan (jabr) Allah. Dengan demikian, nasib manusia sudah ditentukan oleh Allah.[4]
Aliran teologi dalam Islam sebagaimana Jabariyah dan Qadariah juga berimplikasi pada pendidikan akhlak. Apakah akhlak yang lahir dari manusia merupakan hasil pendidikan dan latihan ataukah pembawaan sejak lahir. Pandangan jabariyah tentang masalah akhlak bahwa orang bertingah laku baik atau buruk karena pembawaannya sejak lahir, karenanya akhlak tidak bisa dirubah. Sebaliknya Qadariyah berpendapat bahwa akhlak merupakan hasil dari pendidikan, karenanya akhlak dapat dirubah melalui pendidikan dan itulah mengapa Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak.[5]
Ibnu Miskawaih ketika mengkritik pandangan jabariah tentang akhlak menyatakan bahwa, pandangan negatif tersebut akan membuat segala bentuk norma dan bimbingan jadi tertolak, orang jadi tunduk pada kekejaman dan kelaliman, serta anak-anak menjadi liar karena tumbuh dan berkembang tanpa nasehat dan pendidikan.
Quraish Shihab dalam masalah ini juga menjelaskan, bahwa manusia memiliki dua potensi, yaitu berkelakuan baik dan buruk. Terdapat sekian banyak ayat al-Qur’an yang dipahami menguraikan hal hakikat ini, antara lain :
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْن.
“maka kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk)”[6]
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8)
… dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketaakwaan”[7]
Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia dari kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan.
Al-Qur’an surat Thaha menguraikan bahwa Iblis menggoda Adam sehingga,
وَعَصَى ءَادَمُ رَبَّهُ فَغَوَى
… durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia.
Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti tidak melakukan  sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat walaupun kemudian Adam bertaubat kepada Tuhan, sehingga ia kembali kepada kesucian.[8]
Masih dalam kaitannya dengan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir, hadis nabi Saw, antara lain menginformasikan : “Setiap anak yang lahir dalam keadaan suci (fitrah), hanya saja kedua orang taunya (ingkunganya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR Bukhari) dan masih banyak lagi hadis yang menginformasikan tantang kecenderungan manusia untuk kebaikan.
Termasuk dalam pembahasan ilmu Tauhid sebagaimana dijelaskan Prof. Machasin sering diringkas dalam apa yang disebut rukun iman, yaitu iman kepada Allah, kepada para malaikat, kepada kitab-kitab yang diturunkan-Nya, kepada para rasul, kepada hari kiamat dan ketentuan-Nya atau qada dan qadar-Nya.
Jika kita percaya kepada Allah yang memiliki sifat-sifat yang mulia, seharusnya manusia yang beriman juga meniru sifat-sifat Allah. Misalnya sifat al-rahman dan al-rahim (maha pengasih dan penyayang), dan mengembangkan sifat kasih sayang dimuka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna, yang jumlahnya ada sembilan puluh sembilan, maka harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.[9]
Jika manusia benar-benar telah berhubungan baik dengan Tuhan (tauhid) maka dengan sendirinya ia akan meneladani perbuatan baik Tuhan (takhalluqu bi akhlaq Allah) dan dari itu akan muncul perbuatan baiknya kepada sesama.
Demikian juga beriman kepada malaikat, manusia hendaknya meniru sifat-sifat malaikat, seperti jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan selalu patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan.
 لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
… (malaikat-malaikat) itu tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[10]
Iman kepada kitab yang diturunkan Tuhan, khususnya Al-Qur’an, secara akhlaki harus menjadikannya sebagai pedoman bertingkah laku dalam segala aspek kehidupan. Begitu juga beriman kepada rasul Allah, khusunya Muhammad, bagaimana kita seharusnya meneladani sifat sidiq, amanah, tablig dan fathanah.
Iman kepada hari akhir juga akan menyadarkan kita bahwa semua perbuatan manusia selama di dunia akan diminta pertanggungjawaban. Tidak akan luput sedikitpun perbuatan baik dan buruk itu dari hisab meskipun sebesar dzarrah. Dengan demikian beriman kepada hari akhir akan menjadikan seseorang banyak bermuhasabah (introspeksi).
Iman kepada Qada’ dan qadar menjadikan seseorang senantiasa mau bersyukur dan rela menerima segala keputusan Tuhan, baik itu berupa kesenangan maupun kesedihan, meskipun pada umunya manusia merasa sulit untuk menerima keadaan yang menimpa dirinya, seperti kemiskinan, penyakit, kehilangan jabatan dan sebagainya.
Dengan demikian semakin jelas bahwa rukun iman yang enam ternyata erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Keimanan dalam Islam bukanlah hanya bersifat dogmatis, artinya mereka yang beriman kemudian secara otomatis masuk surga, dan terhapus dari segala dosa, tetapi iman dalam Islam itu sebenarnya adalah menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Ilmu Tauhid tampil memberikan landasan terhadp Ilmu Akhlak, sedangkan Ilmu Akhlak memberikan penjabaran dan pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak tidak berarti apa-apa, dan sebaliknya akhlak tanpa tauhid tidak akan kokoh.
Hubungan tauhid dan akhlak juga dubuktikan dengan eratnya hubungan antara keimanan dan amal saleh, yang dalam al-Qur’an dan hadis banyak disebutkan secara beriringan.
B. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf.
Memberikan definisi tentang tasawuf merupakan suatu pekerjaan yang terasa sulit, sebab definisi yang dikemukakan para ahli maupun sufi adalah merupakan suatu penghayatan batin dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, sehingga faktor rasa lebih menonjol daripada rasio dan kadang-kadang rasio kurang dapat menangkap rasa.
Memang banyak definisi tasawuf yang dapat ditemukan dalam berbagai literature, namun hal itu hanya merupakan sebuah petunjuk saja. Sebab tujuan tasawuf adalah sesuatu yang tidak bisa dilukiskan, tidak bisa dipahami dan dijelaskan dengan ungkapan apapun, baik filsafat maupun penalaran. Hanya kearifan hati, gnosis, yang dapat memahami beberapa di antara sisi-sisinya. Diperlukan suatu pengalaman ruhani yang tidak tergantung pada metode-metode inderawi ataupun pikiran.
Meskipun demikian kita mencoba menjelaskan terminologi tasawuf, yang kemudian akan dijadikan acuan untuk mencari hubungan antara Akhlak dengan tasawuf sesuai dengan bahasan kali ini. Definisi tasawuf menurut Ibrahim Hilal adalah memilih jalan hidup zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup, dengan mengambil bentuk ibadah, wirid, menahan lapar, berjaga di waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid, sehingga melemalah unsur jasmani dalam diri sesorang dan semakin kuat unsur rohaninya.[11]
Tasawuf juga diartikan sebagai upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain, tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.[12]
Kita tidak akan terlalu jauh berbicara tentang tasawuf dulu, sebab pembahasan yang lebih mendalam akan kita kaji pada Ilmu Tasawuf pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Paling tidak definisi tersebut sudah member gambaran kepada kita untuk mencoba mencari hubungan korelatif antara akhlak dan tasawuf.
Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama, Tasawuf Akhlaki, kedua, Tasawuf Amali, dan ketiga, Tasawuf Falsafi. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya adalah sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghisasi diri dengan perbuatan yang terpuji.[13] Ketiga tasawuf tersebut berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Tasawuf Falsafi misalnya menggunakan rasio atau akal pikiran atau memadukan visi mistis dengan visi rasio yang bahan kajiannya misalnya filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan sebagainya. Ciri umum tasawuf falsafi ialah kesamaran ajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendalami ajaran tasawuf ini. Tetapi tasawuf ini juga tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (zauq), dan sebaliknya tidak bisa pula dikategorikan pada tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih cenderung kepada panteisme.[14]
Tasawuf akhlaki menggunakan pendekatan akhlak yang tahapannya adalah Takhalli (mengosongkan diri dari dari perbuatan yang buruk), Tahalli, (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji) dan Tajalli (terbukanya tabir yang menghalangi antara Tuhan dan manusia sehingga terungkapnya nur ghaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah : “Allah adalah nur (cahaya) langit dan bumi” (Q.S. 24:35). Tajalli berarti lenyapnya sifat hijab dari sifat-sifat kebasyariahan (kemanusiaan), sehingga jelasnya nur yang selama ini ghaib, lenyapnya segala yang lain ketika nampak wajah Allah.[15] Sedangkan tasawuf amali menggunakan pendekatan amaliyah berupa dzikir atau wirid yang selanjutnya ada yang mengambil bentuk tarekat.
Pada prinsipnya semua ajaran tasawuf baik falsafi, akhlaki maupun amali adalah ilmu tentang moral Islam. Aspek moral berkaitan erat dengan pembahasan tentang jiwa, klasifikasinya, kelemahan-kelemahannya, penyakit-penyakit jiwa dan sekaligus mencari jalan keluar pengobatannya, sehingga manusia dengan sendirinya akan berakhlak mulia.
Lebih lanjut, hubungan antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf ini dijelaskan oleh Harun Nasution, bahwa ketika seseorang mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan hadis menekankan nilai-nilai seperti kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa sosial, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, suci, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan harus dimasukkan ke dalam diri semasa kecil.[16]
Tasawuf sendiri (Tasawuf Amali) pada hakikatnya adalah melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, dzikir yang semuanya adalah rangka mendekatkan diri dengan Tuhan. Dalam kaitannya dengan ibadah, Al-qur’an dan hadith mengaitkan pelaksanaan ibadah dengan menjauhkan diri dari pelaksanaan hal-hal yang tidak baik. Al-Qur’an menyatakan bahwa : Shalat menjauhkan orang dari perbuatan jahat dan tidak baik.[17] Dan kemudian dijelakan oleh hadis “shalat yang tidak menjauhkan pelaksananya dari perbuatan jahat dan tidak baik, sebenarnya bukanlak salat”. Mengenai puasa ada hadis yang menagatakan bahwa :”Orang yang tidak meninggalkan kata-kata bohong, maka tidak ada faedahnya ia menahan diri dari makan dan minum” hadis lain : “Puasa bukanlah menahan diri makan dan minum, tetapi menahan diri dari kata-kata yang sia-sia dan tidak sopan, jika kamu dimaki atau dihargai orang katankalah : “aku puasa”. Sedangkan tentang haji, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 197 mengatakan :
kptø:$# ֍ßgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B 4 `yJsù uÚtsù  ÆÎgŠÏù ¢kptø:$# Ÿxsù y]sùu Ÿwur šXqÝ¡èù Ÿwur tA#yÅ_ Îû Ædkysø9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz çmôJn=÷ètƒ ª!$# 3 (#rߊ¨rts?ur  cÎ*sù uŽöyz ÏŠ#¨9$# 3uqø)­G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ  
 “Haji adalah bulan-bulan yang dikenal dan siapa yang memutuskan untuk haji, maka pada waktu itu tidak ada lagi kata-kata tidak sopan, cacian dan pertengkaran.
Begitu juga dengan zakat, adalah untuk membersikan dan mensucikan diri.[18]
Kesimpulannya, bahwa semua ibadah itu erat hubungannya dengan pendidikan akhlak. Tujuan akhir dari pelaksanan ibadah bukanlah semata-mata menjauhkan diri dari neraka dan masuk surga, tetapi adalah pembinaan akhlak mulia yang menyangkut kepentingan masyarakat. Masyarakat yang baik dan bahagia adalah masyarakat yang para anggotanya memiliki akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur.[19] Singkatnya hubungan akhlak dengan tasawuf dapat dikatan bahwa tasawuf itu sendiri sebenarnya adalah pendidikan akhlak, baik akhlak kepada Tuhan, sesama makhluk dan juga alam semesta. Atau dapat dikatakan bahwa Tasawuf adalah upaya lebih lanjut dari Ilmu Akhlak.
C. Hubungan Akhlak dengan Filsafat.
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Arab falsafah, dan falsafah itu sendiri berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” Philos berarti suka atau cinta, dan Sophia berarti kebijaksanaan. Jadi philosophia berarti suka pada kebijaksanaan atau teman kebijaksanaan. Maksudnya setiap orang yang berfilsfat menjadi bijaksana.[20]
Sedangkan arti terminologi (istilah), Filsafat berarti alam berfikir atau alam fikiran. Berfilsafat artinya berfikir. Meskipun demikian tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat ialah berfikir secara mendalam dan dengan sungguh-sungguh.[21]
Filsafat merupakan ilmu “istimewa” yang mencoba menjawab maslah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah dimaksud itu di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan meyelami) secara radikal dan integral serta sistematis hakikat semua yang ada, yaitu hakikat Tuhan, hakikat manusia dan hakikat alam semesta.[22]
Hasbullah bakry mendefinisikan Ilmu Filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.[23]
Dari pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah upaya berfikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan sistematis dalam rangka mencari hakikat mengenai semua yang ada. Misalnya ketika kita melihat berbagai macam merek dan jenis hand phone, mulai dari yang sederhana sampai yang tercanggih, kemudian kita memikirkannya, membandingkan antara yang satu dengan yang lainnya, kemudian kita menemukan inti atau hakekat dari hand phone adalah sebagai sarana atau alat komunikasi. Dengan menyebut hand phone sebagai alat komunikasi, maka seluruh jenis dan merek handpone sudah tercakup di dalamnya.
Filsafat memiliki bidang-bidang kajian yang mencakup berbagai disiplin ilmu, antara lain :
a.      Metafisika     : penyelidikan di balik alam yang nyata.
b.      Kosmologi    : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c.       Logika            : pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat.
d.     Etika               : pembahasan tentang tingkah laku manusia.
e.      Theodica        : pembahasan tentang ke-Tuhanan.
f.        Antropologia: pembahasan tentang manusia.

Etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat, yang meskipun masuk dalam pembahasan filsafat, namun kini telah berkembang dan merupakan disiplin ilmu yang mempunyai identitas sendiri.[24]
Selain itu obyek pemikiran filsafaat yang erat kaitannya dengan Ilmu Akhlak adalah tentang hakekat manusia. Prof. Beerling, guru besar filsafat, antara lain berkesimpulan bahwa manusia adalah tukang bertanya.[25] Pertanyaan manusia itu tidak kunjung berakhir, tak habis-habisnya. Apakah manusia itu ?. apakah alam ? apakah keadilan ?. apakah kewajiban ? Apakah kebahagiaan ? siapakah Tuhan. Berbeda dengan hewan, manusia itu concerned (menaruh perhatian) mengenai asal-mulanya dan akhirnya, mengenai maksud dan tujuannya, mengenai makna dan hakikat kenyataan. Hanya manusialah yang membedakan antara keindahan dan kejelekan, antara kebajikan dan keburukan, antara lebih baik dan lebih buruk. Mungkin saja ia adalah salah satu anggota margasatwa, namun ia adalah juga warga dunia idea dan nilai.
Perihal manusia, diperoleh beberapa konsep. Konsep materialistis lebih cenderung pada pendapat bahwa manusia hanya memiliki satu unsur, yaitu jasad. Dalam konsep ini, yang berfikir dari diri manusia bukanlah akal yang bersifat immateri, melainkan otak yang berbentuk fisik. Adapaun konsep intelektualis mengakui bahwa manusia memiliki dua unsur, yakni jasad dan ruh. Akan tetapi ruh dalam konsep ini diberi pengertian hanya daya berfikir. Daya rasa yang berpusat di dada yang erat kaitannya  dengan hati nurani tidak ditonjolkan.[26]
Konsep manusia menurut al-Qur’an adalah sosok yang sempurna melalui istilah basyar, insan dan al-nas. Basyar ini melihat manusia dari aspek lahiriah serta pesamaannya dengan manusia lainnya. Dengan basyariyahnya manusia dalam aktifitasnya dipengaruhi dorongan kodrat alamiahnya seperti makan, minum, berhubungan seks dan akhirnya mati mengakhiri hidupnya.
Sedangkan manusia al-insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal. Sementara itu kata “al-Nas” mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial.[27]
Konsep manusia sebagaimana dijelaskan oleh para filosof, sedikit banyak akan memberi inspirasi tentang bagaiman seharusnya membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dan sebagainya, sehingga akan tercipta pola laku hubungan yang dapat dilakukan dalam rangka menciptakan kehidupan yang harmonis.
Selain membahas tentang hakekat manusia, filsafat juga membahas tentang Tuhan, makhluk Tuhan selain manusia dan juga alam semesta. Semakin luas pengetahuan seseorang tentang segala ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan ilmu akhlak, semakin dalam pula pengetahuan manusia tentang ilmu akhlak, jika memang ia bersungguh-sungguh dalam memikirkan, mepelajari dan menghayatinya.
D.  Hubungan Akhlak dengan Ilmu Jiwa dan Ilmu Pendidikan.
Ilmu jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiawaan yang tampak dalam tingkah laku, sehingga dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki sesorang. Jiwa yang bersih cenderung pada kebaikan dan jiwa yang kotor banyak melahirkan perbuatan jahat dan kesalahan, sesat yang akhirnya jauh dari Tuhan.
Relevansi antara ilmu akhlak dan ilmu jiwa/psikologi adalah sangat setrategis, dimana antara keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat apabila dilihat dari obyek sasarannya, yaitu tentang perasaan, khayal, paham, kemauan, ingatan, cinta dan kenikmatan.[28]
Dalam ilmu jiwa juga dapat kita temukan informasi tentang perbedaan psikologis yang dialami manusia pada setiap jenjang usianya. Misalnya masa balita, kanak-kanak, remaja dan dewasa akan berbeda-beda. Masa balita cenderung emosional dan manja, masa kanak-kanak cenderung meniru, masa remaja cenderung egois-labil dan seterusnya. Dengan mengetahui keadaan psikologis sperti ini akan memberikan onformasi tentang perlunya menyampaikan ajaran akhlak sesuai dengan perkembangan jiwanya. Dengan demikian ilmu jiwa dapat memberikan masukan dalam rangka merumuskan tentang metode dan pendekatan dalam pembinaan akhlak.
Demikian juga dengan ilmu pendidikan dimana tujuan utamanya adalah pencapaian akhlak yang sempurnya. Dalam pelaksanan pendidikan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Orang tua, guru, lingkungan dan sebagainya yang kesemuanya merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan pendidikan, yang berarti pula pendidikan akhlak.  
Kesimpulanya, bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang sangat akrab dan berdekatan dengan disiplin ilmu lainnya. Ia tidak berdiri sendiri, tetapi dibutuhkan dan membutuhkan terhadap ilmu yang lain dalam rangka mencapai tujuan akhir yang ingin dicapai.


[1] C. Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat, Aura Tsawuf Positif, (Jakarta : IIMaN kerjasama dengan HIKMAH, 2002), 3.
[2] Yusran Asmuri, Ilmu Tauhid, (Jakarta : Rawawali Pers kerjasama dengan Lembga Studi Islan dan Kemasyarakatan (LSIK), 1994), 2.
[3] Machasin, Islam Teologi Aplikatif, ( Yogyakarta : Pustaka Alief, 2003), 15.
[4] Ibid, 16-17.
[5] Ensiklopedi Hukum Islam, 74.
[6] QS, 90 : 10
[7] QS. 91 : 7-8.
[8] M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1996), 254-255.
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Rajawali Pres, 1997), 22
[10] QS, 66 : 6)
[11] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 51.
[12] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), 181.
[13] Ibid, 19.
[14] Asmaran As, Pengantar… , 153.
[15] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, (Surabaya : Bina Ilmu, 1991), 245.
[16] Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan, 1996), 57.
[17] Q.S. 29 : 45
[18] Harun Nasution, Islam… ,58.
[19] Ibid, 59.
[20] Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, (Jakarta : Widjaja, 1986), 9.
[21] Ibid.
[22] Ending Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), 85.
[23] Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat....
[24] Zahruddin Ar, Pengantar studi Akhlak, (Jakarta : Rjawali press, 2004), 60-61.
[25] Ibid, 14.
[26] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta : Belukar, 2004), 43-44.
[27]Abuddin Nata, Akhalak.... baca juga Quraish Shihab, dalam Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai persoalan Umat.
[28] Zahruddin Ar, Pengantar studi Akhlak, 56-57.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Footer Widget 3

Visitors

new

new
satu

Label

Blogger Tricks

Blogger Themes

Resource

Site Map

Advertise

Moto GP News

Football News

Formula 1 News

Link List

Powered By Blogger

Sport News

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

About Me

Foto saya
Meraih Sukses dengan Menjadi Kreatif, Menjadi sukses adalah tujuan hidup bagi sebagian besar orang. Salah satu modal untuk meraih kesuksesan adalah dengan menjadi individu yang kreatif. Dengan kreatifitas yang dimiliki seseorang disertai dengan pengambilan langkah-langkah yang tepat dalam mengembangkan kreatifitas tersebut, Kesuksesan bisa dicapai. Ada beberapa langkah awal yang dapat diambil untuk mencapai kesuksesan dengan memanfaatkan ide kreatif yang Anda miliki, diantaranya:

Mengenai Saya

Foto saya
trenggalek, jawa timur, Indonesia
Meraih Sukses dengan Menjadi Kreatif, Menjadi sukses adalah tujuan hidup bagi sebagian besar orang. Salah satu modal untuk meraih kesuksesan adalah dengan menjadi individu yang kreatif. Dengan kreatifitas yang dimiliki seseorang disertai dengan pengambilan langkah-langkah yang tepat dalam mengembangkan kreatifitas tersebut, Kesuksesan bisa dicapai. Ada beberapa langkah awal yang dapat diambil untuk mencapai kesuksesan dengan memanfaatkan ide kreatif yang Anda miliki, diantaranya:

Followers

Basketball News

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost