Sabtu, 05 November 2011

agent of change

Mengubah Universitas Kelas ”Teri” Jadi Berkualitas

Prof Dr Imam Suprayogo, arsitek kebangkitan UIN Malang:
Gemas dengan keadaan IAIN, seorang mahasiswa membulatkan tekad di dalam hatinya, “Kelak jika diberi amanah memimpin kampus ini, aku akan membuat perubahan.”
Puluhan tahun kemudian, si mahasiswa itu terbukti sukses mewujudkan tekadnya. Siapa mahasiswa itu? Dialah Imam Suprayogo (59), Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN) Malang, Jawa Timur.
Sepuluh tahun lalu, ketika namanya masih Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang, perguruan tinggi itu tak ubahnya seperti SD Inpres. Ia hanya dilirik sebelah mata oleh berbagai kalangan.
Namun, kini perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama (Kemenag) itu telah berubah seratus delapan puluh derajat. Gedung yang dimiliki kampus yang terletak di Jalan Gajayana itu tidak kalah mentereng dengan kampus negeri sebelahnya, yaitu Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang yang jauh lebih tua.
Yang menarik dari kampus itu bukan saja gedungnya, tapi juga tradisi keilmuan yang dibangun. Ini bisa dilihat dari ciri khususnya, yakni seluruh mahasiswanya harus menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Oleh karena itu, jangan heran jika skripsi mahasiswanya pun ditulis menggunakan dua bahasa tersebut.
Selain itu, yang khas dari kegiatan di kampus adalah tradisi shalat berjamaah dan shalat Tahajud. Bukan cuma itu, bahkan 1.232 mahasiswanya adalah tahfizh Qur`an. Itu artinya, lebih dari 10 persen dari jumlah total 7.500 mahasiswa.
Keberhasilan itu tidak lepas dari kepiawaian Imam Suprayogo yang menahkodai kampus tersebut. Sang Rektor inilah yang mengantarkan kampus itu menjadi Perguruan Tinggi Islam (PTI) yang patut diperhitungkan.
Pak Imam, demikian dia biasa dipanggil, dalam membangun UIN Malang yang pada tahun 2002 pernah bernama Universitas Islam Indonesia-Sudan (UIIS) itu mengembangkan konsep pendidikan yang merupakan sintesis antara tradisi universitas dan pesantren atau ma’had.
Ma’had itulah, menurut Imam, salah satu program unggulan UIN Malang. Melalui wadah ini terbukti mampu meningkatkan kualitas mahasiswanya.
Pada tahun pertama, seluruh mahasiswa diwajibkan tinggal di ma’had untuk memperdalam bahasa Arab dan bahasa Inggris. “Melalui bahasa Arab, diharapkan mahasiswa mampu mengkaji Islam melalui sumber aslinya yaitu al-Qur`an dan Hadits. Sedang melalui bahasa Inggris mereka diharapkan mampu mengkaji ilmu-ilmu umum dan modern, selain sebagai piranti komunikasi global,” jelas Imam yang sudah menjabat rektor selama 14 tahun.
Tak mudah merealisasikan program ma’had tersebut. Disamping mesti membangun asrama yang mampu menampung 3.000 mahasiswa, doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya itu mesti menjinakkan atasan dan anak buahnya yang menentang idenya tersebut.
Namun layar sudah telanjur dibentangkan, pantang ditarik kembali. Kira-kira begitulah prinsip rektor yang rajin menulis di website itu. “Apa pun dan bagaimanapun program tersebut harus berjalan,” tegas Imam yang mendapat julukan ‘rektor gratis’ karena tak pernah mengambil tunjangannya sebagai Rektor UIN Malang.
Menurut Imam, dari 53 PTI Negeri di Indonesia, hanya UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang mempunyai sistem pendidikan ma’had.
Melalui model pendidikan semacam itu, mantan Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang ini berkeyakinan, dari kampusnya bakal lahir lulusan yang berpredikat ulama yang intelek dan intelek yang ulama.
Terbukti kemudian, UIN Malang kini tengah mengalami kebangkitan. Disamping kerap menjadi kiblat bagi PTI lain melakukan studi banding, kini universitas yang memberi beasiswa kepada para penghafal al-Qur`an itu juga menjadi rujukan mahasiswa luar negeri. Ada puluhan mahasiswa asing yang belajar di sini. Mereka antara lain berasal dari negara-negara tetangga, lalu Rusia, Madagaskar dan Bulgaria.
Ingin lebih tahu jurus-jurus yang digunakan Imam untuk mengangkat univesitas yang dulu menjadi cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, wartawan majalah Suara Hidayatullah, Bambang Subagio, Akbar Muzakki dan Bahrul Ulum beberapa waktu lalu berbincang-bincang dengan sang Rektor.
Berikut hasil wawancaranya.
Dengan adanya ma’had, apa kurikulum UIN Malang berbeda dengan PTI lainnya?
Ya. Kurikulum di sini memang saya buat beda dengan PTI lainnya di Indonesia. Kami tidak mengikuti sepenuhnya kurikulum yang ditetapkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama (Kemenag).
Apa tidak ada teguran dari Kementerian Agama?
Ada. Ketika baru mengubah kurikulum, saya diingatkan oleh Pak Dirjen. Tapi saya bilang ke beliau bahwa saat saya dilantik menjadi Ketua STAIN tahun 1998, Pak Menteri Agama berpesan agar ada usaha-usaha peningkatan kualiatas di kampus ini. Itulah yang saya pegang dan saya sampaikan ke Pak Dirjen. Saya juga bilang terus terang kepada beliau bahwa kalau saya mengikuti kurikulum yang dibuat Kemenag, nyatanya tidak ada yang berkualitas. Karena itu, cara untuk meningkatkan kualitas kampus ini, saya harus membuat kurikulum sendiri.
Bagaimana reaksi Dirjen?
Waktu itu Pak Dirjen mengatakan, kalau saya (Imam) membikin kurikulum sendiri berarti tidak sama dengan PTI lainnya dan tidak bisa diikuti oleh perguruan tinggi swasta. Saya jawab bahwa saya tidak memikirkan PTI lainnya dan tidak ada perintah untuk memikirkan mereka. Tugas saya adalah meningkatkan kualitas di sini.
Kemudian saya balik bertanya kepada Pak Dirjen, bahwa kalau saya harus meningkatkan kualitas dengan cara mengikuti kurikulum yang dibuat pemerintah, adakah perguruan tinggi agama yang (memakai kurikulum pemerintah) kualitasnya unggul. Kalau ada, akan saya tiru. Waktu itu Pak Dirjen tidak bisa menjawab. Maka saya katakan kepada beliau, tidak akan pernah ada.
Mendengar pernyataan saya, beliau agak jengkel dan bilang, “Wah, saya akan repot jika memiliki banyak rektor seperti Pak Imam.”
Langkah pertama yang Anda lakukan untuk meningkatkan kualitas, seperti apa?
Saya membuat program ma’had yang mewajibkan mahasiswa belajar bahasa Arab dan Inggris. Saya berkeyakinan, bahasa adalah alat untuk mengkaji ilmu. Misalnya mengkaji ilmu agama, bagaimana mungkin orang bisa memahami al-Qur`an tanpa menggunakan bahasa Arab. Ini jelas tidak mungkin. Alat itu penting digunakan untuk mencapai sesuatu. Untuk mendapatkan apa saja harus menggunakan alat. Menangkap ikan saja harus menggunakan kail atau jala. Sebab, jika memakai tangan kosong yang didapat adalah ikan mabuk atau mati yang rasanya tidak enak. Posisi bahasa seperti kail atau jala. Untuk memahami al-Qur`an, ya, harus menguasai alatnya dulu yaitu bahasa Arab.
Apakah program itu berjalan baik?
Alhamdulillah, berjalan sesuai rencana. Setelah dua tahun, semua mahasiswa sudah bisa berbicara dan membaca tulisan Arab. Jadi ada gairah baru di sini. Karena itu, ketika Pak Dirjen ke sini dan melihat hasilnya, beliau malah menghimbau PTI lainnya meniru UIN Malang. Dan memang banyak PTI yang ke sini untuk studi banding.
Bagaimana respon dosen dan mahasiswa?
Awalnya memang ada yang menolak. Namun, saya telah memberikan penjelasan yang rasional. Tapi saya akui, dalam melakukan pembaharuan saya memang otoriter.
Bahwa ada yang menentang, mereka saya hadapi. Alhamdulillah, semua bisa menerima dan mengakui manfaatnya.
(Seorang dosen bercerita, demi terlaksananya program ma’had, Pak Imam benar-benar bersikap tegas. “Siapa saja yang menentang program tersebut dia tempatkan sebagai musuh besar kampus,” kata dosen tersebut.
Salah satu kendala ma’had adalah tenaga pengajar bahasa Arab. Disamping dibutuhkan waktu pagi hingga malam, honornya juga kecil. Lantaran hal itu, tak sedikit dosen yang menolak mengajar di ma’had, termasuk si dosen tadi.
Dia berkisah, suatu kali dia disodori formulir kesanggupan mengajar di ma’had. Karena punya kesibukan di luar, dia menyatakan belum sanggup. Begitu Imam tahu, dia langsung dipanggil dan disemprot habis-habisan. “Bagaimana mungkin Anda menolak mengajar bahasa Arab (di ma’had), sementara Anda dosen bahasa Arab? Jika Anda seperti itu, berarti Anda musuh besar kampus ini,” kata dosen tadi menirukan amarah bosnya.
Disemprot seperti itu si dosen hanya diam membeku. “Keringat dingin mengucur dari badan saya,” katanya mengaku.
Kini, si dosen mengakui keunggulan program ma’had tersebut).
Bagaimana dengan mahasiswa baru?
Setiap penerimaan mahasisiwa baru saya jelaskan bahwa bangunan keilmuan di sini menekankan pada tarbiyah fi ulul albab. Yaitu mendidik manusia yang banyak berzikir dan berpikir. Itulah manusia yang disebut ulama yang intelek atau intelek yang ulama. Yaitu orang yang mempunyai kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan professional. Penguasan ilmu alam, sosial dan humaniora harus mendasarkan pada ayat-ayat kauliyah dan kauniyah. Karena itu, seorang yang memiliki jiwa ulul albab, jika menemukan persoalan dalam ilmunya, akan mengembalikan kepada al-Qur`an dan Sunnah.
Nah, untuk mencapai hal ini diperlukan penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Karena itu, saya mengajak mereka belajar kedua bahasa itu dengan baik. Caranya, mereka harus masuk ma’had. Di tempat inilah mereka akan belajar kedua bahasa itu setiap hari. Dengan penjelasan ini mereka sudah siap.
Berarti ada tambahan SKS?
Itu juga pernah ditanyakan oleh mahasiswa baru. Saya bilang kepada mereka bahwa saya sudah tidak mengerti SKS atau semester. Yang saya tahu bahwa kalian tidak bisa bahasa Arab dan bahasa Inggris. Jadi, kalian harus belajar kedua bahasa itu tiap hari. Jika belajar bahasa hanya seminggu dua atau tiga kali dan itu masing-masing hanya dua jam, maka tidak mungkin bisa. Penjelasan seperti ini juga saya sampaikan kepada orang tua mahasiswa. Bahkan mereka setuju. Jadi, sejak awal tidak ada resistensi dari mahasiswa atau wali mahasiswa.
Selain itu, saya juga jelaskan bahwa di sini juga menekankan spiritualitas. Karena itu, saya mengajak mereka untuk banyak berzikir, shalat berjamaah, shalat malam dan puasa Senin-Kamis.
Ini berlaku untuk semua mahasiswa?
Ya. Termasuk mahasisiwa non-Islam. Di sini ada mahasiswa Kristen. Dia datang ke saya dan saya jelaskan bahwa dia harus mengikuti bahasa Arab dan mengaji al-Qur`an. Saya katakan kepadanya bahwa sumber ilmu di UIN Malang adalah al-Qur`an, karena itu dia harus belajar al-Qur`an. Dan dia juga harus masuk ma’had. Cuma dia tidak wajib shalat karena itu hanya diwajibkan untuk orang Islam. Alhamdulillah, tiga bulan setelah itu dia masuk Islam.
Ada tidak yang menilai negatif dengan program ini?
Banyak. Awalnya saya dicaci maki karena membuat ma’had. Menurut mereka, ma’had bukan otoritas kampus. Bahkan terakhir ada yang mengusulkan agar mengubah menjadi asrama mahasiswa saja. Tapi setelah mereka melihat hasilnya, tidak ada lagi penilaian seperti itu.
Terbukti mahasiswa yang unggul di sini adalah mereka yang penguasaan agamanya bagus. Contohnya, wisudawan terbaik angkatan pertama adalah mahasiswa jurusan Fisika yang hafal al-Qur`an 30 juz. Angkatan kedua mahasiswa Matematika hafal 30 juz. Dan terakhir juga anak Fisika yang hafal al-Qur`an dan skripsinya berbahasa Arab.
Berarti Anda mengembalikan IAIN yang sekarang sudah berubah menjadi lembaga keilmuan semata?
Ya. Saya ingin mengembalikan PTI sebagaimana ide awalnya yaitu sebagai lembaga ilmu, dakwah dan pendidikan Islam yang berkualitas. Karena itu, saya perlu membuat sebuah konsep yang bisa menerjemahkannya. Saya sengaja membuat ma’had demi mencapai tujuan tersebut. Inilah cara memperbaiki pola pendidikan di Perguruan Tinggi Islam yang sekarang ini banyak mendapat sorotan masyarakat. Saya menjadikan ma’had sebagai bagian dari arkanul jamiah (rukun universitas).
Maksudnya?
Menurut saya, rukun universitas itu antara lain pertama, harus memiliki dosen. Kedua, harus ada masjid. Ketiga, harus ada ma’had. Selanjutnya ada perpustakaan, laboratorium, tempat pertemuan, pusat pengembangan seni dan olahraga, dan terakhir sumber pendanaan yang kuat. Dari rukun tersebut yang penting adalah tiga yang pertama. Tiga hal ini tidak boleh hilang dari perguruan tinggi Islam. Bahkan itu wajib. Kalau tiga hal itu tidak ada dalam PTI, maka perguruan tinggi tersebut tidak akan melahirkan sarjana yang berkualitas.
Kembali kepada ketentuan dari Kemenag soal PTI, berarti konsep Anda ini menyalahi aturan?
Memang menyalahi. Tapi saya berusaha meraih yang terbaik demi meningkatkan kualitas mahasiswa. Untuk mencapai hal itu saya sebagai rektor lebih tahu. Makanya saya tidak pernah meminta petunjuk dari pusat. Saya lebih tahu mana yang terbaik bagi mahasiswa dan kampus ini.
Anda tidak takut diberi sanksi?
Demi kebaikan, kenapa harus takut. Saya hanya takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seandainya saya diberi sanksi, paling tinggi dipecat jadi rektor. Bagi saya tidak ada masalah. Saya masih bisa jadi guru besar. Seandainya saya juga dipecat jadi guru besar, saya masih punya SIM B untuk menjadi sopir. Ha..ha…ha. Saya tidak takut dengan risiko yang saya ambil. Semua itu demi kebaikan kampus ini.
Apa resep Anda hingga bisa mengembangkan kampus ini sedemikian rupa?
Saya mulai dari diri sendiri. Saya harus memberi contoh terlebih dahulu. Seorang pemimpin, jika dia ingin berhasil, harus memberikan contoh. Tanpa itu tak mungkin berhasil. Misalkan tunjangan saya selama menjadi rektor tidak pernah saya ambil. Semuanya saya hibahkan ke kampus untuk membangun kampus ini. Sebab, menurut saya, amanah sebagai rektor adalah sebuah perjuangan. Dan berjuang itu harus berkorban. Kalau berjuang tanpa berkorban, apalagi malah untung, itu namanya makelar. Dan saya juga tidak ingin menjadi makelar.
Dengan cara seperti itu, maka seluruh dosen serta orang tua paham bahwa saya benar-benar bekerja untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk diri sendiri. Prinsip ini yang saya pegang teguh.
Suatu kali Imam ingin memindahkan seorang pensiunan dosen dari rumah dinas, karena ada dosen lain yang membutuhkan. Ini masalah sensitif dan di banyak tempat, masalah ini kerap menimbulkan gejolak. Tapi Imam punya cara jitu, tanpa menimbulkan riak-riak.
Dia datangi rumah pensiunan itu, lalu dia tawarkan rumah baru seharga Rp 40 juta. Pensiunan itu menerima, walau awalnya sempat bingung karena tak pernah berpikir rektor membelikan rumah untuk dirinya. “Rumah itu saya beli dari uang saya pribadi, sebab bila memakai uang dinas nanti banyak orang iri ingin dibelikan semua,” kata Imam.
Imam juga tak segan-segan melego mobil pribadinya untuk membangun universitas yang dia cintai sepenuh jiwanya itu.
Kabarnya Anda memberi beasiswa kepada para penghafal al-Qur`an, bagaimana ceritanya?
Dulu saya termasuk orang yang tidak simpati kepada para penghafal al-Qur`an. Sudah ada CD, kaset, DVD dan sebagainya, lalu untuk apa menghafalkan al-Qur`an?
Tetapi setelah saya amati, pikiran saya salah. Anak-anak yang hafal al-Qur`an itu ternyata lebih cerdas dan akhlaknya juga baik. Pakaiannya sopan, hormat kepada orang tua dan guru.
Sebagai bentuk istighfar saya, saya lalu memberi beasiswa kepada mahasiswa yang hafal minimal 10 juz.
Tiada Henti Membangun Masjid
Setiap orang tua tentu bangga melihat anaknya mampu membeli sepeda motor dari keringatnya sendiri. Tetapi tidak dengan Kiai Hasan Muchrodji. Berhari-hari Kiai Hasan, demikian biasa dipanggil, tak bisa tidur karena pikirannya terus gelisah. Penyebabnya sederhana, dia mendengar kabar Imam Suprayogo membeli motor baru. Dia khawatir uang yang dipakai membeli motor itu hasil dari korupsi, karena dia tahu gaji pegawai negeri kala itu masih kecil.
Demi memastikan kabar itu, kiai yang tinggal di Trenggalek ini malam-malam memaksakan diri datang ke rumahnya Imam di Malang. “Setelah saya jelaskan bahwa motor itu dibeli secara kredit, baru beliau lega dan paginya langsung minta pulang,” kata Imam mengisahkan. Inilah salah satu peristiwa yang hingga kini melekat kuat di benak Imam.
Lahir di Desa Gemaharjo, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Imam (karena berasal dari keluarga kiai) sejak kecil sudah dididik dengan nilai-nilai Islam. Ayahnya, kata Imam, sebagai kepala keluarga selalu memastikan bahwa seluruh makanan dan barang milik anak-anaknya diperoleh dengan cara halal. “Setiap saya mendapat mainan baru atau makanan, ayah selalu tanya dari mana dapatnya,” kata Imam, anak kedelapan dari 16 bersaudara.
Bila ada orang yang paling berpengaruh terhadap dirinya sehingga dia bisa menjadi seperti sekarang, tanpa ragu Imam menjawab: Ayah! Banyak nasihat ayahnya yang hingga kini masih menancap kuat di benak bapak tiga anak ini. Di antara nasihat yang masih dipegang erat-erat oleh Imam hingga sakarang adalah:
“Jika kelak kamu menjadi orang kaya, bangunlah sebuah masjid. Syukur kalau masjid itu berukuran besar dan bagus. Jika tidak mampu membangun masjid yang besar, bangunlah masjid kecil atau mushalla. Tapi, jika kamu masih tetap belum mampu juga, bantulah orang yang membangun masjid sekuat kemampuanmu. Bila dengan sedikit uang saja kamu masih belum mampu, ya bantulah dengan tenaga maupun pikiran. Terakhir, jika kamu terlalu miskin dan lemah, sehingga tidak bisa melakukan apa-apa, saya tidak kecewa asalkan dengan satu syarat: kamu masih jadi isinya masjid.”
Karena nasihat itulah, suami dari Sumarti ini mengaku menjadi panita pembangunan masjid sepanjang hayatnya. Selesai membantu pembangunan masjid yang satu, pindah ke masjid lain. Demikian seterusnya.
Sekalipun begitu, Imam menikmati peran mulia itu. “Sebab, pada dasarnya memang saya suka memberi,” kata Imam.
Tiada Henti Menulis
Dengan bangga Imam Suprayogo menunjukkan buku setebal 10 sentimeter. Buku itu berisi kumpulan artikel yang dia tulis di website pribadinya. Artikel itu dia tulis selama setahun tiada jeda.
Imam patut diberi acungan jempol. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai Rektor, dia masih bisa meluangkan waktu menulis setiap hari. Ya, tiap hari dia menulis minimal satu artikel.
Karena konsistensinya itu, tahun lalu namanya pernah tercatat di MURI sebagai orang terlama menulis di wibsite. “Beliau menulis selama satu tahun terus menerus tiap hari,” kata Yahya, Humas UIN Malang.
Sekarang tentu lebih dari satu tahun Imam menulis. Berdasarkan arsip artikel di wibsitenya, Imam menulis mulai akhir 2008. Sejak itulah ia mampu menjaga stamina menulisnya. Jumlah total hingga tulisan ini ditulis ada 1.070 artikel.
Ihwal menulisnya itu, pria ramah ini bercerita bahwa pada dasarnya dia termasuk pribadi yang suka memberi. “Karena saya tak punya harta, ya saya memberi tulisan saja,” katanya. Tentu saja harapannya ide-ide yang disampaikan lewat tulisan tersebut bermanfaat bagi orang lain. “Tetapi kalau toh tidak bermanfaat tidak apa-apa, pokoknya saya menulis,” katanya lugas.
Alasan kedua, masih kata Imam, mengisi waktu kosong pagi. Setelah shalat Subuh di masjid, dia biasanya meneruskan dengan membaca al-Qur`an di rumah. Selesai mengaji tidak ada yang dikerjakan. “Nah, daripada nganggur, saya menulis,” katanya.
Bahkan tak hanya saat di rumah dia menulis. Imam menulis di mana saja, termasuk kala dinas ke luar kota. “Di mana saja, sepanjang masih ada subuh, saya menulis,” katanya.
Beragam tema yang dia tulis, mulai dari politik, sosial, agama dan budaya. Bahkan juga ada pengalaman-pengalaman pribadinya, baik sebagai rektor, anak, dan anggota masyarakat.
Imam tak ingin dirinya saja yang mampu menulis. Semangat menulisnya itu juga dia tularkan kepada seluruh dosen dan karyawan di UIN Malang. Bahkan dia menantang mereka, siapa paling produktif menulis diberi hadiah mobil baru.
Tantangan rektor itu terbukti berhasil membangkitkan semangat menulis para dosen. Itu bisa dilihat dari jumlah buku yang diterbitkan. Selama tahun 2010 tak kurang dari 283 judul buku diterbitkan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Jumlah itu mengalami kenaikan hampir 50 persen dari penerbitan tahun sebelumnya. Tahun 2009, UIN Malang menerbitkan 202 judul buku.
Imam tidak omong kosong. Tahun lalu, mobil itu disabet oleh HR Taufiqurrochman, dosen bahasa Arab yang terbukti paling produktif.
Imam bangga lembaga yang dipimpinnya mampu menerbitkan ratusan buku tiap tahun. “Coba cari perguruan tinggi mana tiap tahun menerbitkan buku hingga ratusan judul,” kata Imam penuh syukur. * SUARA HIDAYATULLAH, JUNI 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Footer Widget 3

Visitors

new

new
satu

Label

Blogger Tricks

Blogger Themes

Resource

Site Map

Advertise

Moto GP News

Football News

Formula 1 News

Link List

Powered By Blogger

Sport News

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

About Me

Foto saya
Meraih Sukses dengan Menjadi Kreatif, Menjadi sukses adalah tujuan hidup bagi sebagian besar orang. Salah satu modal untuk meraih kesuksesan adalah dengan menjadi individu yang kreatif. Dengan kreatifitas yang dimiliki seseorang disertai dengan pengambilan langkah-langkah yang tepat dalam mengembangkan kreatifitas tersebut, Kesuksesan bisa dicapai. Ada beberapa langkah awal yang dapat diambil untuk mencapai kesuksesan dengan memanfaatkan ide kreatif yang Anda miliki, diantaranya:

Mengenai Saya

Foto saya
trenggalek, jawa timur, Indonesia
Meraih Sukses dengan Menjadi Kreatif, Menjadi sukses adalah tujuan hidup bagi sebagian besar orang. Salah satu modal untuk meraih kesuksesan adalah dengan menjadi individu yang kreatif. Dengan kreatifitas yang dimiliki seseorang disertai dengan pengambilan langkah-langkah yang tepat dalam mengembangkan kreatifitas tersebut, Kesuksesan bisa dicapai. Ada beberapa langkah awal yang dapat diambil untuk mencapai kesuksesan dengan memanfaatkan ide kreatif yang Anda miliki, diantaranya:

Followers

Basketball News

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost